Tuesday, December 6, 2016

ulumul qur'an ilmu qiraat



MAKALAH
ILMU QIRA’AT
Makalah ini disusun guna memenuhi Tugas :
Mata Kuliah                :Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu        :Kurdi Fadal M.S.I
                                                                   

 

 

Disusun Oleh :

1.      Ismi Aini Lathifah         (2022112081)
2.      Ikhsanudin                     (2022112086)
3.      Faikul Himam                (2022112049)




JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PEKALONGAN
2013

Kata Pengantar

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang  berjudul “ Ilmu Qira’at ” yang Alkhamdulillah tepat pada waktu nya.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini . semoga dengan makalah ini dapat memberikan wawasan bagi pembaca meskipun masih banyak kelemahan .
            Akhir kata kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir . Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita . Amin ......


Pekalongan ,23 April 2013


Penyusun





  


A.    Pendahuluan
            Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub didalamnya. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio cultural pada masing-masing suku. Laiknya Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya[1]. Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di sini, perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf) dan hadis-hadis lainnya yang sepadan dengannya. Kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya al-Qur’an dan al-Wajiz menolak muatan hadits itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah, konteks hadis itu sendiri memberikan peluang al-Qur’an dibaca dengan berbagai ragam qira’ah. Makalah ini akan membahas tentang hal tersebut.








B.     Pengertian Qiro’ah
          Secara etimologis, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk mashdar dari (قرأ ) ,yang artinya adalah bacaan.Sedangkan secara terminologis ,terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang di kemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini , diantaranya:
1)             Imam al-Zarkasyi, mengemukakan sebagai berikut :
القراءات:اختلاف الفا ظ الوحى و كيفتها من تخفيف و تشديد و نخو ها
“Qira’at yaitu : perbedaan lafal-lafal al-Qur’an ,baik menyangkut huruf-huruf nya maupun cara pengucapan huruf-huruf  tersebut ,seperti takhfif, tasydid,dan lain-lain.[2]
2)             Menurut Muhasyin, Qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau  menyampaikan kata-kata (kaliamat) Al-qur’an , baik yang disepakati atau yang di perdebatkan sesuai jalan orang yang menukilkannya.[3]
3)             Al-Zarqani , mengemukakan definisi qira’at sebagai berkut :
“Suatu mazhab yang dianut seseorang imam qira’at yang berbeda dengan  yang lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an Al-karim serta sepakat  riwayat-riwayat dan jalur-jalur dari pada nya ,baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf –huruf  maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.[4]
A.           Macam-macam Qira’ah
1.             Qira’ah sab’ah
·                Sabda Nabi Muhammad SAW [5]
نُزِلَ القُراَن عَلىَ سَبْعَةِ أحْرُفٍ
“Al-quran itu diturunkan pada tujuh huruf”.


·                Diriwayatkan dari Umar bahwasannya ia berkata :[6]
نُزِلَ القُراَن بِلُغَةِ مُضَرٍ
Artinya :
“Al-qur’an ituditurunkan dengan bahasa mudhar.”
          Apabila kembali menghitung suku-suku mudhar ,kita dapati ada tujuh suku , yaitu : Hudzail, Kinanah , Qais , Dhabah , Tamimur rabab , Asad bin Khuzaimah dan Quraisy.
·                Adapun yang mengartikan  Qira’at sab’ah merujuk pada tujuh Imam  mahsyur, yaitu: Ibnu katsir dari Makkah , Imam Nafi dari Isfahan ( Madinah) , Imam ‘ashim bin Abi Najud bin Bahdalah Al Asadi Al kufi,Iam Hamzah dari kufah ,Imam Al kisai dari Kuffah (Baghdad) , Imam Abu Amr dari Bashrah , dan Imam Ibnu Amir dari Damaskus.
2.             Qira’ah ‘Asyarah
Qira’ah ‘Asyarah yaitu qira’at sab’ah ditambah dengan  tiga Imam qira’ah . yaitu Imam Ya’qub dari Bashrah , Imam Khalaf dari Kuffah , dan Imam Abu Ja’far dari Madinah.[7]
3.             Qira’ah Arba’a ‘Asyrah
Qira’ah Arba’a ‘Asyrah yaitu qira’ah ‘Asyrah ditambah dengan empat qira’ah lainnya yakni : dari Imam Hasan  Al Basri, Imam Ibnu Mahisin, Imam Yahya Al Yazidi dan Imam Asy Syambudzi.
4.             Qir’ah Syazzat
Qira’at syazzat adalah  sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan dengan kaidah bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm al-mushhaf.[8]
                         Dapat disimpulkan bahwa, qira’at syazzat tergolong qira’at Al-qur’an yang dapat diterima eksistensinya ,akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui qur’aniyat ( ke-qur’an-nan) nya. Dapat di khususkan lagi bahwa qira’at syazzat digunakan untuk tafsir atau penjelasan  terhadap qira’at yang terkenal diakui ke-qur’an nannya.

Beberapa contoh qira’at syazzat :
Ø   Qira’at ‘Aisyah dan Hafshah
حَافِظُوا عَلى الصَّلَوَاتِ و الصَّلَوةِ الوُسْطَى صَلاَةُ العَصْرِ
Kalimat (صلاةالعصر ) merupakan tafsir atau penjelasan terhadap ( الصلاة الو سطى ) yang terdapat dalam firman Allah yang berbunyi :
حَافِظُوا عَلى الصَّلَوَاتِ و الصَّلَوةِ الوُسْطَى(البقرة۲꞉۲۳۸﴾
Ø   Qira’at Ibn Mas’ud :
وَالسَّا رِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيْمَا نَهُمَا
Lafaz  ( ايمانهما )merupakan  tafsir atau penjelasan terhadap lafaz ( ايد يهما) yang terdapat dalam firman Allah yang berbunyi:
وَالسَّا رِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيدِ يَهُمَا ﴿المائدة۵꞉۳۸﴾
Ø   Qira’at Ubay ibn Ka’ab :
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِسَا ئِهِمْ تَرَبُّصُوْاَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ فَاِنْ فَاؤُا فِيْهِنَّ فَاِنَّ اللَّهَ غَفُورٌرَحِيمٌ
Lafaz (   فيهنّ) merupakan tafsir atau penjelasan terhadap firman Allah yang berbunyi :
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِسَا ئِهِمْ تَرَبُّصُوْاَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ فَاِنْ فَاؤُا فَاِنَّ اللَّهَ غَفُورٌرَحِيمٌ
Adapun As-suyuti yang mengutip dari Ibnu Al-Jazari yang meneglompokkan Qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam .[9]
a.              Mutawattir, yaitu qira’at yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta dalam tiap angkatan sampai kepada Rasul. Qira’at ini adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai al-qur’an . Qira’at ini sah di baca di dalam dan di luar sholat dan dijadikan sumber atau hujjah dalam menetapkan hukum.
b.             Masyhur, yaitu qira’at yang sanad  nya shahih akan tetapi jumlah rawinya tidak sebanyak periwayat mutawattir.
c.              Ahad, adalah qira’at yang sanad  nya shahih akan tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau  kaidah bahasa Arab.
d.             Syaz, yaitu qira’at yang sanad nya tidak shahih .
e.              Maudu’,adalah qira’at  yang dibangsakan kepada seseorang tanpa dasar.
f.              Mudraj, yaitu qira’at yang didalam nya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya di jadikan penafsiran bagi ayat Al-qur’an.
C.           Kriteria Qira’ah yang diterima dan yang ditolak
          Untuk mencegah penyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima[10] . diantaranya :
1)             Qira’at itu sesuai dengan bahasa arab , sekalipun menurut satu jalan.
2)             Qira’at iu sesuai dengan salah satu  mushaf-mushaf Utsmani sekalipun secara potensial.
3)             Shahih sanad nya ,baik diriwayatkan dari Imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh ,maupun dari imam-imam qira’at yang diterima selain mereka.
          Adapula qira’at yang tidak sesuai dengan syarat – syarat diatas maka tidak dapat di terima sebagai qira’at yang dapat digunakan .
D.           Sejarah Perkembangan Ilmu Qiro’ah
                         Pada dasawarsa pertama abad IV Hijriyah , qira’at pertama kali di perkenalkan . dimana pada saat itu yang terkenal adalah qira’at sab’ah . Qira’at tersebut adalah hasil kumpulan-kumpulan dari qiraat yang dimilik oleh para imam-imam terkemuka pada waktu itu .
                         Ibnu Mujtahid adalah ulama yang pertamakali memperkenalkan qira’at tersebut yaitu qira’at sab’ah. Pada masa itu Ibnu Mujahid sempat dituduh sebagai penyebab kerancuan pemahaman banyak orang terhadap pengertian “ tujuh kata ” yang dengannya al-qur’an di turunkan . Hal ini dikarenakan karena qira’at tersebut belum memasyarakat , maka banyak orang mengira bahwa qira’at tersebut adalah tujuh huruf yang di maksudkan Rasulullah SAW .
                         Qira’at sebenarnya telah lama dikenal didunia akademis yaitu sejak abad 11 H jauh sebelum Ibnu Mujahid memperkenalkan qiraat sab’ah tersebut . Hal yang yang membuat kurang memasyarakat nya qira’at tersebut dikarenakan kecenderungan para ulama saat itu yang hanya mengambil dan memasyarakatkan satu qira’at saja. sementara qira’at-qira’at lainnya kalau dianggap tidak benar maka ditinggalkan . Apa yang dilakukan Ibnu Mujahid ini , merupakan sebuah terobosan baru yang menurut masayarakat pada saat itu masih asing dengan hal tersebut .
                         Selain dari qira’at sab’ah tersebut kemudian juga muncul qira’at-qira’at lainnya seperti qira’at sepuluh , yaitu qira’at sab’ah ditambah dengan tiga tokoh yaitu : Ya’kub , Khalaf bin Hisyam dan Zayid bin al-Qa’qa’, kemudian  qira’at empat belas yaitu qira’at sepuluh ditambah dengan empat tokoh : Hasan al-Bishriy , Muhammad bin Abdu al-Rahman , Yahya bin al-Mubarak al-Yazidiy , dan Abu al-Faraj Muhammad bin Ahmad al-Syanbudziy .
E.            Penyebab Perbedaan Qira’at
                        Adapun beberapa penyebab perbedaan qira’at antara satu dengan yang lainnya , dikarenakan salah satu dari sebab-sebab berikut ini[11] :
a.              Perbedaan dalam i’rab atau harokat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat . misalnya pada firman Allah yang berbunyi :
....اَلَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأ مُرُونَ النَّا سَ باِالبُخْلِ ...
          ... mereka yang kikir dan menyuruh orang berlaku kikir ... (Ali ‘Imran,ayat180)
          Kata البخل yang berarti kikir disini bisa dibaca fathah pada huruf Ba’-nya menjadi bi al-bakhli , bisa pula dibaca dengan dhammah pada huruf Ba’-nya sehingga menjadi bi al-bukhli.
b.             Perbedaan pada i’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya . misalnya pada firman Allah yang berbunyi :
... رَبَّنَا بَا عِدْ بَيْنَ اَسْفَا رِنَا ....        
          ... Wahai Tuhan kami , jauhkanlah jarak perjalanan kami (saba’ ,ayat 19)
          Kata yang diterjemahkan menjadi “jauhkanlah” di atas adalah kata بَا عِدَ karena statusnya sebagai Fi’il Amar . Boleh juga di baca  بَاعَدَ yang berarti kedudukannya menjadi Fi’il madhi , sehingga bila diIndonesiakan , kata itu menjadi “jauh”.
c.              Perbedaan pada perubahan huruf tanpa berubah i’rab dan bentuk tulisannya , sementara maknanya berubah . Misalnya firman Allah :
وَانْظُرْ اِلىَ العِظَا مِ كَيْفَ نُنْشِزُ هَا ...         
          ...Lihatlah tulang belulang , bagaimana kami menyusunnya kembali”.(Al-Baqarah,ayat 259)
          Kata   نُنْشِزُ هَا (kami menyusunnya kembali) yang ditulis dengan huruf zay (  ز) diganti dengan huruf Ra’ (ر  ) sehingga menjadi berbunyi نُنْشِرُهَا yang berarti “kami hidupkan kembali”.
d.             Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya , tetapi tanpa perubahan maknanya . Misalnya pada firman Allah :
وَتَكُوْنُ الْجِبَا لُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ                                                       
          Dan gunung-gunung bagaikan bulu-bulu yang bertebaran (Al-Qari’ah , ayat 5)
          Beberapa Qira’at mengganti mangganti kata كَالْعِهْنِ dengan كَالصُّوفِ , sehingga yang mulanya bermakan “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba”.
          Perubahan seperti ini , berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan , karena bertentangan dengan mushhaf Utsmaniy.
e.              Perbedaan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada kata  طَلْعِ مَنْضُودٍmenjadi طَلْحِ مَنْضُودٍ
f.              Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirkannya . Misalnya firman Allah yang berbunyi :
وَجَاءَتْ سَكْرَ ةُ الْمَوْتِ بِاالحَقِّ      
          Dan datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya”(Qaf,ayat 19)
          Konon , menurut suatu riwayat , Abu bakar pernah membacanya menjadi :
وَجَاءَتْ سَكْرَ ةُ الْمَوْتِ بِاالحَقِّ بِاالْمَوتِ. Abu bakar menggeser kata Al-maut ke belakang , sementara kata Al-Haq ia majukan ke tempat yang ia geser ke belakang . Setelah mengalami pergeseran ini , bila kalimat itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi : “Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
          Qira’at semacam ini , juga tidak bisa dipakai , karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.
g.             Perbedaan dengan menambah atau mengurangi huruf , seperti pada firman Allah :
جَنّتُ تَجْرِ ى مِنْ تَحْتِهَا الْاَ نْهاَ ر           
          Kata( مِنْ) dalam ayat ini di buang dan pada ayat serupa yang tanpa  مِنْ justru ditambah.
F.     Pengaruh Qira’ah Terhadap Istinbath Hukum
                         Adanya perbedaan antara qiro’at yang satu dengan yang lainnya dapat menimbulkan sedikit bahkan banyak perbedaan makna ,dimana perbedaan ini bisa dikarenakan  adanya perbedaan huruf ,bentuk kata,susunan kalimat,i’rab,penambahan dan pengurangan kata. [12]
                         Perbedaan makna tersebut juga dapat berpengaruh pada perbedaan  hukum yang di istinbathkan . Oleh karena itu Al-Zarkasyi berkata[13] :“ Bahwa dengan perbedaan qiraat timbullah perbedaan dalam hukum.Karena itu ,para ulama fiqih membangun hukum batalnya wudhu orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qiraat pada “kau disentuh” dan “kamu saling menyetuh” .
                        Adapun contoh lain dari perbedaan pengistinbathtan tersebut , seperti hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haid ketika terputus haid nya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (di bangun) atas dasar perbedaan mendalam dalam bacaan “hingga mereka suci”.
Menurut qira’at Nafi’ dan Abu Amr dibacaحَتَّى يَطْهُرْنَ  (sampai suci) dan menurut qira’at Hamzah dan Al-Kisaiحَتَّى يَطَّهَّرْنَ  (sampai bersuci).
*             Pendapat pertama tha sukun dan ha dhammah , menunjukan larangan menggauli perempuan  itu ketika haid . Ini berarti bahwa dia boleh dicampuri setelah terputus nya haid walaupn sebelum mandi atau bersuci (pendapat Abu Hanifa).
*             Pendapat kedua dengan  tasydid tha dan ha menunjukan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih yang dalam hal ini adalah mandi besar.
*             Sedangkan Jumhur ulama melihat pada dua pendapat tersebut menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.
          Kemudian perbedaan antara qira’at  لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ(kamu saling menyentuh) dan   لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kau sentuh).
          Menurut madzhab Hanafi dan Maliki semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu sebab menurut Hanafi kata لاَمَسْتُمْ disini berarti jima’dan menurut Maliki bersentuhan yang disertai perasaan nafsu . sedang menurut madzhab Syafi’i bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.
          Perbedaan qiraat tersebut terlihat dari perbedaan maknanya dimana pendapat pertama,  mengandung interaksi antara pihak yang menyentuh dan yang disentuh , baik interaksi nya sampai kepada jima’ sebagaimana yang dipahami seperti madzhab Hanafi maupun hanya sampai pada perasaan syahwat sebagaiman yang di pahami madzhab Maliki . Kata لاَمَسَ termasuk kata kerja musyarokah dalam ilmu sharaf . Sementara itu ,qiraat  لاَمَسَ adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarokah . Karena itu , qiraat pertama mendukung madzhab Hanafi dan Maliki qiraat kedua mendukung madzhab Syafi’i.
                         Dari sedikit uraian diatas dapat disimpulkan bahwa qiraat memiliki pengaruh yang besar dalam penetapan hukum.Sebagian qiraat bisa juga berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qiraat yang lain,atau penafsiran dan penjelasan kepada maknanya.Bahkan karena adanya perbedaan qiraat menimbulkan perbedaan penetapan hukum dikalangan para ulama . Sehubungan dengan yang terakhir ini, Musthafa Sa’id Al-Khim menyebutkan delapan faktor terpenting yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat ulama dan Ia menempatkan perbedaan qiraat pada urutan pertama. Dari keterangan diatas menunjukan bahwa pengetahuan mengenai berbagai qiraat sangat perlu bagi seorang yang hendak mengistinbath hukum[14] dari ayat-ayat al-Quran pada khusus nya dan menafsirkannya pada umum nya.
F.            Faedah mempelajari qira’atul qur’an
          Faedah atau manfaat mempelajari perbedaan qiraat[15] :
1)             Meringankan dan memudahkan umat islam dalam membaca al-qur’an ketika lafal yang sulit di ucapkan dapat diganti dengan lafal yang mudah.
2)             Menunjukan betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpangan.
3)             Sebagai bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan maknanya karena suatu qiraat menunujukan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
4)             Qira’ah-qira’ah tersebut dapat membantu dalam kajian tafsir ,menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qira’ah lain ,terutama dalam peristinbatan hukum.[16]



Kesimpulan

Secara etimologis , lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk mashdar dari (قرأ ) , yang artinya adalah bacaan. Sedangkan secara terminologis , terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang di kemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira’at ini , salah satunya :
Imam al-Zarkasyi, mengemukakan sebagai berikut :
القراءات:اختلاف الفا ظ الوحى و كيفتها من تخفيف و تشديد و نخو ها
“Qira’at yaitu : perbedaan lafal-lafal al-Qur’an , baik menyangkut huruf-huruf nya maupun cara pengucapan huruf-huruf  tersebut , seperti takhfif , tasydid , dan lain-lain .
Macam-macam Qira’ah
5.        Qira’ah sab’ah
6.        Qira’ah ‘Asyarah
7.        Qira’ah Arba’a ‘Asyrah
8.        Qir’ah Syazzat
Kriteria Qira’ah yang diterima dan yang ditolak
       Untuk mencegahpenyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul ,para ulama membuat persyaratan-persyaratanbagi qira’at yang dapat diterima . diantaranya :
4)        Qira’at itu sesuai dengan bahas Arab , sekalipun menurut satu jalan.
5)        Qira’at iu sesuai dengan salah satu  mushaf-mushaf  Utsmani sekalipun secara potensial.
6)        Shahih sanad nya ,baik diriwayatkan dari Imam qira’at yang tujuh dan yang sepluh ,maupun dari imam-imam qira’at yang diterima selain mereka.
       Adapula qira’at yang tidak sesuai dengan syarat – syarat diatas maka tidak dapat di terima sebagai qira’at yang dapat digunakan .
Penyebab Perbedaan Qira’at
1.        Perbedaan dalam i’rab atau harokat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat
2.        Perbedaan pada i’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya
3.        Perbedaan pada perubahan huruf tanpa berubah i’rab dan bentuk tulisannya , sementara maknanya berubah .
4.        Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya , tetapi tanpa perubahan maknanya .
5.        Perbedaan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula.
6.        Perbedaan pada mendahulukan kata dan mengakhirkannya.
7.        Perbedaan dengan menambah atau mengurangi huruf.
Faedah mempelajari qira’atul qur’an
       Faedah atau manfaat mempelajari perbedaan qiraat :
5)        Meringankan dan memudahkan umat islam dalam membaca al-qur’an ketika lafal yang sulit di ucapkan dapat diganti dengan lafal yang mudah.
6)        Menunjukan betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpangan.
7)        Sebagai bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan maknanya karena suatu qiraat menunujukan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
       Qira’ah-qira’ah tersebut dapat membantu dalam kajian tafsir ,menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qira’ah lain ,terutama dalam peristinbatan hukum.



Daftar Pustaka

A.F,Hasanudin.1995.Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalamAl-Qur’an.Jakarta:PT.Raja Graha Grafindo Persada.
Al-Abyari,Ibrahim.1993.Sejarah Al-Qur’an.Semarang:Dina Utama.
Marzuki,Kamaludin.1994.‘Ulum Al-Qur’an.Bandung:PT.Remaja Rosda Karya.
M.Yusuf,Kadar.2012.Studi Al-qur’an.Jakarta:Amzah
Syadali,Ahmad dan Ahmad Rofi’i.1997.Ulumul Qur’an 1.Bandung CV.Pustaka Setia.
Sya’roni,Sam’ani.2013.Tafkirah Ulum Al-Qur’an.Pekalongan:Al-Gholasi Putra.
Muhyiddin,Zaki.2011. “ Macam-macam dan syarat-syarat Qira’at”.http://makalahzaki.blogspot.com.Diakses,2 Mei 2013.
Pintania.2011.“Qiraatul qur’an”.http://Pintania’s.blogspot.com.Diakses 21 mei 2013








[2]Hasanudin AF,Perbedaan Qiraat dan Pangaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam Qur’an,(Jakarta:1995),hlm.112.
[3] Kadar M.Yusuf,Studi Al-Qur’an,(Jakarta:2012),hlm.45.
[4] Ahmad Syadali & Ahmad Rofi’i,Ulumul Qur’an 1,(Bandung:1997),hlm.224.
[5] Ibrahim Al-abyari,Sejarah Al-qur’an,(Semarang:Dina Utama,1993),hlm.98
[6]Ibid.
[7] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i .op.cit.hlm.228-230.
[8] Hasanudin A.F, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalam Al-qur’an . (Jakarta:PT. Raja Grafindo,1995),hlm.152.

[9]Ibid.hlm.228 - 230
[11]Kamaluddin Marzuki,’Ulum Al-Qur’an,(Bandung : Remaja Rosda Karya ,1994),hlm.110-112.
[12] Kamaludin Marzuki,’Ulum Al-qur’an,(Bandung:Remaja Rosda Karya,1994),hlm.110
[13] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i .op.cit.hlm.233

[14]istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.
[15] Kadar M. Yusuf,Studi Al-qur’an,(Jakarta:Amzah,2012),hlm.51.
[16] Sam’ani Sya’roni,Tafkirah Ulum Al-Quran,(Pekalongan:2013),hlm.99.                                            

No comments:

Post a Comment