MAKALAH
ILMU QIRA’AT
Makalah ini
disusun guna memenuhi Tugas :
Mata Kuliah :Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu :Kurdi Fadal M.S.I
Disusun Oleh :
1.
Ismi Aini Lathifah (2022112081)
2.
Ikhsanudin (2022112086)
3.
Faikul Himam (2022112049)
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN PEKALONGAN
Kata
Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “ Ilmu Qira’at ” yang
Alkhamdulillah tepat pada waktu nya.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna , oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini . semoga
dengan makalah ini dapat memberikan wawasan bagi pembaca meskipun masih banyak
kelemahan .
Akhir kata kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir . Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita
. Amin ......
Pekalongan
,23 April 2013
Penyusun
A.
Pendahuluan
Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku termaktub
didalamnya. Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan
berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan
kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio cultural pada masing-masing
suku. Laiknya Indonesia yang memiliki bahasa persatuan, maka bangsa Arabpun
demikian. Mereka menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common
language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan
bentuk-bentuk interaksi lainnya[1].
Dari kenyataan di atas, sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Di sini, perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi
lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya
bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena
itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai
macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf
(unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf) dan hadis-hadis lainnya
yang sepadan dengannya. Kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya al-Qur’an dan
al-Wajiz menolak muatan hadits itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah,
konteks hadis itu sendiri memberikan peluang al-Qur’an dibaca dengan berbagai
ragam qira’ah. Makalah ini akan membahas tentang hal tersebut.
B.
Pengertian
Qiro’ah
Secara
etimologis, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk mashdar dari (قرأ ) ,yang artinya adalah bacaan.Sedangkan secara terminologis
,terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang di kemukakan oleh para ulama
sehubungan dengan pengertian qira’at ini , diantaranya:
1)
Imam
al-Zarkasyi, mengemukakan sebagai berikut :
القراءات:اختلاف الفا ظ الوحى و كيفتها من تخفيف
و تشديد و نخو ها
“Qira’at yaitu : perbedaan lafal-lafal
al-Qur’an ,baik menyangkut huruf-huruf nya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut ,seperti takhfif, tasydid,dan
lain-lain.[2]
2)
Menurut Muhasyin,
Qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan
atau menyampaikan kata-kata (kaliamat)
Al-qur’an , baik yang disepakati atau yang di perdebatkan sesuai jalan orang
yang menukilkannya.[3]
3)
Al-Zarqani
, mengemukakan definisi qira’at sebagai berkut :
“Suatu mazhab yang dianut seseorang imam
qira’at yang berbeda dengan yang
lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an Al-karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur dari pada nya
,baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf –huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya”.[4]
A.
Macam-macam
Qira’ah
1.
Qira’ah
sab’ah
·
Sabda
Nabi Muhammad SAW [5]
نُزِلَ القُراَن عَلىَ سَبْعَةِ أحْرُفٍ
“Al-quran itu diturunkan pada tujuh huruf”.
·
Diriwayatkan
dari Umar bahwasannya ia berkata :[6]
نُزِلَ القُراَن بِلُغَةِ مُضَرٍ
Artinya :
“Al-qur’an ituditurunkan dengan bahasa mudhar.”
Apabila
kembali menghitung suku-suku mudhar ,kita dapati ada tujuh suku , yaitu :
Hudzail, Kinanah , Qais , Dhabah , Tamimur rabab , Asad bin Khuzaimah dan
Quraisy.
·
Adapun
yang mengartikan Qira’at sab’ah
merujuk pada tujuh Imam mahsyur, yaitu: Ibnu
katsir dari Makkah , Imam Nafi dari Isfahan ( Madinah) , Imam ‘ashim bin Abi
Najud bin Bahdalah Al Asadi Al kufi,Iam Hamzah dari kufah ,Imam Al kisai dari
Kuffah (Baghdad) , Imam Abu Amr dari Bashrah , dan Imam Ibnu Amir dari
Damaskus.
2.
Qira’ah
‘Asyarah
Qira’ah ‘Asyarah yaitu qira’at
sab’ah ditambah dengan tiga Imam qira’ah
. yaitu Imam Ya’qub dari Bashrah , Imam Khalaf dari Kuffah , dan Imam Abu
Ja’far dari Madinah.[7]
3.
Qira’ah
Arba’a ‘Asyrah
Qira’ah Arba’a ‘Asyrah yaitu qira’ah
‘Asyrah ditambah dengan empat qira’ah lainnya yakni : dari Imam
Hasan Al Basri, Imam Ibnu Mahisin, Imam
Yahya Al Yazidi dan Imam Asy Syambudzi.
4.
Qir’ah
Syazzat
Qira’at syazzat
adalah sebagaimana dikemukakan oleh
sebagian ulama yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan dengan
kaidah bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm al-mushhaf.[8]
Dapat disimpulkan bahwa, qira’at
syazzat tergolong qira’at Al-qur’an yang dapat diterima eksistensinya ,akan
tetapi para ulama sepakat tidak mengakui qur’aniyat ( ke-qur’an-nan) nya. Dapat
di khususkan lagi bahwa qira’at syazzat digunakan untuk tafsir atau
penjelasan terhadap qira’at yang terkenal
diakui ke-qur’an nannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat :
Ø Qira’at ‘Aisyah dan Hafshah
حَافِظُوا عَلى الصَّلَوَاتِ و الصَّلَوةِ
الوُسْطَى صَلاَةُ العَصْرِ
Kalimat (صلاةالعصر ) merupakan tafsir atau penjelasan terhadap ( الصلاة الو سطى ) yang terdapat dalam firman Allah yang berbunyi :
حَافِظُوا عَلى الصَّلَوَاتِ و الصَّلَوةِ
الوُسْطَى(البقرة۲꞉۲۳۸﴾
Ø Qira’at Ibn Mas’ud :
وَالسَّا رِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا
اَيْمَا نَهُمَا
Lafaz ( ايمانهما )merupakan tafsir atau
penjelasan terhadap lafaz ( ايد يهما) yang terdapat dalam
firman Allah yang berbunyi:
وَالسَّا رِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْا اَيدِ
يَهُمَا ﴿المائدة۵꞉۳۸﴾
Ø Qira’at Ubay ibn Ka’ab :
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِسَا ئِهِمْ
تَرَبُّصُوْاَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ فَاِنْ فَاؤُا فِيْهِنَّ فَاِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌرَحِيمٌ
Lafaz (
فيهنّ) merupakan tafsir atau
penjelasan terhadap firman Allah yang berbunyi :
لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِسَا ئِهِمْ
تَرَبُّصُوْاَرْبَعَةِ اَشْهُرٍ فَاِنْ فَاؤُا فَاِنَّ اللَّهَ غَفُورٌرَحِيمٌ
Adapun As-suyuti yang mengutip dari Ibnu
Al-Jazari yang meneglompokkan Qira’at berdasarkan sanad kepada enam macam .[9]
a.
Mutawattir, yaitu qira’at
yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang banyak pula sehingga tidak mungkin mereka
sepakat berdusta dalam tiap angkatan sampai kepada Rasul. Qira’at ini
adalah qira’at yang sah dan resmi sebagai al-qur’an . Qira’at ini
sah di baca di dalam dan di luar sholat dan dijadikan sumber atau hujjah
dalam menetapkan hukum.
b.
Masyhur, yaitu qira’at
yang sanad nya shahih akan tetapi jumlah
rawinya tidak sebanyak periwayat mutawattir.
c.
Ahad, adalah
qira’at yang sanad nya shahih
akan tetapi menyalahi tulisan mushaf Utsmani atau kaidah bahasa Arab.
d.
Syaz, yaitu qira’at
yang sanad nya tidak shahih .
e.
Maudu’,adalah qira’at yang dibangsakan kepada seseorang tanpa
dasar.
f.
Mudraj, yaitu qira’at
yang didalam nya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya di jadikan penafsiran
bagi ayat Al-qur’an.
C.
Kriteria
Qira’ah yang diterima dan yang ditolak
Untuk
mencegah penyelewengan
qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima[10]
. diantaranya :
1)
Qira’at
itu sesuai dengan bahasa arab , sekalipun menurut satu jalan.
2)
Qira’at
iu sesuai dengan salah satu
mushaf-mushaf Utsmani sekalipun secara potensial.
3)
Shahih
sanad nya ,baik diriwayatkan dari Imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh
,maupun dari imam-imam qira’at yang diterima selain mereka.
Adapula
qira’at yang tidak sesuai dengan syarat – syarat diatas maka tidak dapat
di terima sebagai qira’at yang dapat digunakan .
D.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Qiro’ah
Pada dasawarsa pertama abad IV
Hijriyah , qira’at pertama kali di perkenalkan . dimana pada saat itu yang
terkenal adalah qira’at sab’ah . Qira’at tersebut adalah hasil kumpulan-kumpulan dari qira’at yang dimilik oleh para
imam-imam terkemuka pada waktu itu .
Ibnu
Mujtahid adalah ulama yang pertamakali memperkenalkan qira’at tersebut yaitu
qira’at sab’ah. Pada masa itu Ibnu Mujahid sempat dituduh sebagai
penyebab kerancuan pemahaman banyak orang terhadap pengertian “ tujuh kata ”
yang dengannya al-qur’an di turunkan . Hal ini dikarenakan karena qira’at
tersebut belum memasyarakat , maka banyak orang mengira bahwa qira’at
tersebut adalah tujuh huruf yang di maksudkan Rasulullah SAW .
Qira’at sebenarnya telah
lama dikenal didunia akademis yaitu sejak abad 11 H jauh sebelum Ibnu Mujahid
memperkenalkan qiraat sab’ah tersebut . Hal yang yang membuat
kurang memasyarakat nya qira’at tersebut dikarenakan kecenderungan para
ulama saat itu yang hanya mengambil dan memasyarakatkan satu qira’at saja. sementara
qira’at-qira’at lainnya kalau dianggap tidak benar maka ditinggalkan . Apa yang
dilakukan Ibnu Mujahid ini , merupakan sebuah terobosan baru yang menurut masayarakat
pada saat itu masih asing dengan hal tersebut .
Selain dari qira’at sab’ah
tersebut kemudian juga muncul qira’at-qira’at lainnya seperti qira’at sepuluh ,
yaitu qira’at sab’ah ditambah dengan tiga tokoh yaitu : Ya’kub ,
Khalaf bin Hisyam dan Zayid bin al-Qa’qa’, kemudian qira’at empat belas yaitu qira’at
sepuluh ditambah dengan empat tokoh : Hasan al-Bishriy , Muhammad bin Abdu
al-Rahman , Yahya bin al-Mubarak al-Yazidiy , dan Abu al-Faraj Muhammad bin
Ahmad al-Syanbudziy .
E.
Penyebab
Perbedaan Qira’at
Adapun beberapa penyebab perbedaan
qira’at antara satu dengan yang lainnya , dikarenakan salah satu dari
sebab-sebab berikut ini[11]
:
a.
Perbedaan
dalam i’rab atau harokat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk
kalimat . misalnya pada firman Allah yang berbunyi :
....اَلَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأ مُرُونَ النَّا سَ
باِالبُخْلِ ...
...
mereka yang kikir dan menyuruh orang berlaku kikir ... (Ali
‘Imran,ayat180)
Kata
البخل yang berarti kikir disini bisa dibaca fathah
pada huruf Ba’-nya menjadi bi al-bakhli , bisa pula dibaca dengan dhammah pada
huruf Ba’-nya sehingga menjadi bi al-bukhli.
b.
Perbedaan
pada i’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya .
misalnya pada firman Allah yang berbunyi :
... رَبَّنَا بَا عِدْ بَيْنَ اَسْفَا رِنَا
....
...
Wahai Tuhan kami , jauhkanlah jarak perjalanan kami (saba’
,ayat 19)
Kata
yang diterjemahkan menjadi “jauhkanlah” di atas adalah kata بَا عِدَ karena statusnya sebagai Fi’il Amar . Boleh juga
di baca بَاعَدَ yang berarti kedudukannya menjadi Fi’il madhi , sehingga
bila diIndonesiakan , kata itu menjadi “jauh”.
c.
Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa berubah i’rab dan bentuk tulisannya ,
sementara maknanya berubah . Misalnya firman Allah :
وَانْظُرْ اِلىَ العِظَا مِ كَيْفَ نُنْشِزُ هَا
...
...Lihatlah
tulang belulang , bagaimana kami menyusunnya kembali”.(Al-Baqarah,ayat 259)
Kata نُنْشِزُ هَا (kami menyusunnya kembali) yang ditulis dengan huruf zay ( ز) diganti dengan huruf Ra’ (ر ) sehingga menjadi
berbunyi نُنْشِرُهَا yang berarti “kami
hidupkan kembali”.
d.
Perubahan
pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya , tetapi tanpa perubahan
maknanya . Misalnya pada firman Allah :
وَتَكُوْنُ الْجِبَا لُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
Dan
gunung-gunung bagaikan bulu-bulu yang bertebaran
(Al-Qari’ah , ayat 5)
Beberapa
Qira’at mengganti mangganti kata كَالْعِهْنِ dengan كَالصُّوفِ , sehingga yang mulanya bermakan “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu
domba”.
Perubahan
seperti ini , berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan , karena bertentangan
dengan mushhaf Utsmaniy.
e.
Perbedaan
pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada kata طَلْعِ مَنْضُودٍmenjadi طَلْحِ مَنْضُودٍ
f.
Perbedaan
pada mendahulukan kata dan mengakhirkannya . Misalnya firman Allah yang
berbunyi :
وَجَاءَتْ سَكْرَ ةُ الْمَوْتِ بِاالحَقِّ
Dan
datanglah sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya”(Qaf,ayat 19)
Konon
, menurut suatu riwayat , Abu bakar pernah membacanya menjadi :
وَجَاءَتْ
سَكْرَ ةُ الْمَوْتِ بِاالحَقِّ بِاالْمَوتِ. Abu bakar menggeser kata Al-maut ke belakang , sementara kata
Al-Haq ia majukan ke tempat yang ia geser ke belakang . Setelah mengalami
pergeseran ini , bila kalimat itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
menjadi : “Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.
Qira’at
semacam ini , juga tidak bisa dipakai , karena jelas menyalahi ketentuan yang
berlaku.
g.
Perbedaan
dengan menambah atau mengurangi huruf , seperti pada firman Allah :
جَنّتُ تَجْرِ ى مِنْ تَحْتِهَا الْاَ نْهاَ ر
Kata(
مِنْ) dalam ayat ini di buang
dan pada ayat serupa yang tanpa مِنْ justru ditambah.
F.
Pengaruh
Qira’ah Terhadap Istinbath Hukum
Adanya
perbedaan antara qiro’at yang satu dengan yang lainnya dapat menimbulkan
sedikit bahkan banyak perbedaan makna ,dimana perbedaan ini bisa
dikarenakan adanya perbedaan huruf
,bentuk kata,susunan kalimat,i’rab,penambahan dan pengurangan kata. [12]
Perbedaan
makna tersebut juga dapat berpengaruh pada perbedaan hukum yang di istinbathkan . Oleh karena itu
Al-Zarkasyi berkata[13]
:“ Bahwa dengan perbedaan qiraat timbullah perbedaan dalam hukum.Karena itu
,para ulama fiqih membangun hukum batalnya wudhu orang yang disentuh (lawan
jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qiraat pada “kau disentuh” dan
“kamu saling menyetuh” .
Adapun
contoh lain dari perbedaan pengistinbathtan tersebut , seperti hukum
bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haid ketika terputus haid nya dan
tidak bolehnya hingga ia mandi (di bangun) atas dasar perbedaan mendalam dalam
bacaan “hingga mereka suci”.
Menurut
qira’at Nafi’ dan Abu Amr dibacaحَتَّى يَطْهُرْنَ (sampai suci) dan menurut qira’at Hamzah dan
Al-Kisaiحَتَّى
يَطَّهَّرْنَ (sampai
bersuci).
Pendapat
pertama tha sukun dan ha dhammah , menunjukan larangan menggauli perempuan itu ketika haid . Ini berarti bahwa dia boleh
dicampuri setelah terputus nya haid walaupn sebelum mandi atau bersuci
(pendapat Abu Hanifa).
Pendapat
kedua dengan tasydid tha dan ha
menunjukan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih yang
dalam hal ini adalah mandi besar.
Sedangkan
Jumhur ulama melihat pada dua pendapat tersebut menafsirkan bacaan yang tidak
bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.
Kemudian perbedaan antara qira’at
لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ(kamu saling menyentuh) dan لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ (kau sentuh).
Menurut
madzhab Hanafi dan Maliki semata-mata bersentuhan antara laki-laki dan
perempuan tidak membatalkan wudhu sebab menurut Hanafi kata لاَمَسْتُمْ disini
berarti jima’dan menurut Maliki bersentuhan yang disertai perasaan nafsu .
sedang menurut madzhab Syafi’i bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.
Perbedaan
qiraat tersebut terlihat dari perbedaan maknanya dimana pendapat
pertama, mengandung interaksi antara
pihak yang menyentuh dan yang disentuh , baik interaksi nya sampai kepada jima’
sebagaimana yang dipahami seperti madzhab Hanafi maupun hanya sampai pada
perasaan syahwat sebagaiman yang di pahami madzhab Maliki . Kata لاَمَسَ termasuk kata kerja musyarokah dalam ilmu sharaf . Sementara
itu ,qiraat لاَمَسَ adalah
bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarokah
. Karena itu , qiraat pertama mendukung madzhab Hanafi dan Maliki qiraat
kedua mendukung madzhab Syafi’i.
Dari sedikit uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa qiraat memiliki pengaruh yang besar dalam penetapan
hukum.Sebagian qiraat bisa juga berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal
(bersifat global) menurut qiraat yang lain,atau penafsiran dan penjelasan
kepada maknanya.Bahkan karena adanya perbedaan qiraat menimbulkan
perbedaan penetapan hukum dikalangan para ulama . Sehubungan dengan yang
terakhir ini, Musthafa Sa’id Al-Khim menyebutkan delapan faktor terpenting yang
menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat ulama dan Ia menempatkan perbedaan qiraat
pada urutan pertama. Dari keterangan diatas menunjukan bahwa pengetahuan
mengenai berbagai qiraat sangat perlu bagi seorang yang hendak mengistinbath
hukum[14]
dari ayat-ayat al-Quran pada khusus nya dan menafsirkannya pada umum nya.
F.
Faedah
mempelajari qira’atul qur’an
Faedah
atau manfaat mempelajari perbedaan qiraat[15]
:
1)
Meringankan
dan memudahkan umat islam dalam membaca al-qur’an ketika lafal yang sulit di
ucapkan dapat diganti dengan lafal yang mudah.
2)
Menunjukan
betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpangan.
3)
Sebagai
bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan maknanya karena suatu qiraat
menunujukan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
4)
Qira’ah-qira’ah
tersebut dapat membantu dalam kajian tafsir ,menjelaskan apa yang mungkin masih
global dalam qira’ah lain ,terutama dalam peristinbatan hukum.[16]
Kesimpulan
Secara etimologis , lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk mashdar dari (قرأ ) , yang
artinya adalah bacaan. Sedangkan
secara terminologis , terdapat
berbagai ungkapan atau redaksi yang di kemukakan oleh para ulama sehubungan
dengan
pengertian
qira’at ini , salah satunya :
Imam al-Zarkasyi, mengemukakan sebagai berikut
:
القراءات:اختلاف الفا ظ الوحى و كيفتها من تخفيف
و تشديد و نخو ها
“Qira’at yaitu : perbedaan lafal-lafal
al-Qur’an , baik
menyangkut huruf-huruf nya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut , seperti takhfif ,
tasydid , dan lain-lain .
Macam-macam Qira’ah
5.
Qira’ah
sab’ah
6.
Qira’ah
‘Asyarah
7.
Qira’ah
Arba’a ‘Asyrah
8.
Qir’ah
Syazzat
Kriteria Qira’ah yang diterima dan yang ditolak
Untuk
mencegahpenyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul ,para ulama membuat
persyaratan-persyaratanbagi qira’at yang dapat diterima . diantaranya :
4)
Qira’at
itu sesuai dengan bahas Arab , sekalipun menurut satu jalan.
5)
Qira’at
iu sesuai dengan salah satu
mushaf-mushaf Utsmani sekalipun
secara potensial.
6)
Shahih
sanad nya ,baik diriwayatkan dari Imam qira’at yang tujuh dan yang sepluh
,maupun dari imam-imam qira’at yang diterima selain mereka.
Adapula qira’at yang tidak sesuai dengan syarat
– syarat diatas maka tidak dapat di terima sebagai qira’at yang dapat digunakan
.
Penyebab Perbedaan Qira’at
1.
Perbedaan
dalam i’rab atau harokat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat
2.
Perbedaan
pada i’rab dan harokat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya
3.
Perbedaan
pada perubahan huruf tanpa berubah i’rab dan bentuk tulisannya , sementara
maknanya berubah .
4.
Perubahan
pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya , tetapi tanpa perubahan
maknanya .
5.
Perbedaan
pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula.
6.
Perbedaan
pada mendahulukan kata dan mengakhirkannya.
7.
Perbedaan
dengan menambah atau mengurangi huruf.
Faedah mempelajari
qira’atul qur’an
Faedah atau manfaat mempelajari perbedaan qiraat :
5)
Meringankan
dan memudahkan umat islam dalam membaca al-qur’an ketika lafal yang sulit di
ucapkan dapat diganti dengan lafal yang mudah.
6)
Menunjukan
betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpangan.
7)
Sebagai
bukti kemukjizatan al-qur’an dari segi kepadatan maknanya karena suatu qiraat
menunujukan suatu hukum syara’ tertentu tanpa pengulangan lafal.
Qira’ah-qira’ah tersebut dapat membantu dalam
kajian tafsir ,menjelaskan apa yang mungkin masih global dalam qira’ah lain
,terutama dalam peristinbatan hukum.
Daftar
Pustaka
A.F,Hasanudin.1995.Perbedaan
Qira’at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum dalamAl-Qur’an.Jakarta:PT.Raja
Graha Grafindo Persada.
Al-Abyari,Ibrahim.1993.Sejarah
Al-Qur’an.Semarang:Dina Utama.
Marzuki,Kamaludin.1994.‘Ulum
Al-Qur’an.Bandung:PT.Remaja Rosda Karya.
M.Yusuf,Kadar.2012.Studi
Al-qur’an.Jakarta:Amzah
Syadali,Ahmad dan Ahmad
Rofi’i.1997.Ulumul Qur’an 1.Bandung CV.Pustaka Setia.
Sya’roni,Sam’ani.2013.Tafkirah
Ulum Al-Qur’an.Pekalongan:Al-Gholasi Putra.
Muhyiddin,Zaki.2011.
“ Macam-macam dan syarat-syarat Qira’at”.http://makalahzaki.blogspot.com.Diakses,2
Mei 2013.
Pintania.2011.“Qiraatul
qur’an”.http://Pintania’s.blogspot.com.Diakses 21 mei 2013
[1]http://Pintania’s.blogspot.com.Diakses
21 mei 2013
[2]Hasanudin AF,Perbedaan
Qiraat dan Pangaruhnya Terhadap Istinbat Hukum dalam Qur’an,(Jakarta:1995),hlm.112.
[3] Kadar M.Yusuf,Studi
Al-Qur’an,(Jakarta:2012),hlm.45.
[4] Ahmad Syadali
& Ahmad Rofi’i,Ulumul Qur’an 1,(Bandung:1997),hlm.224.
[5] Ibrahim
Al-abyari,Sejarah Al-qur’an,(Semarang:Dina Utama,1993),hlm.98
[6]Ibid.
[8] Hasanudin A.F, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya terhadap
Istinbath Hukum dalam Al-qur’an . (Jakarta:PT. Raja Grafindo,1995),hlm.152.
[10]http://makalahzaki.blogspot.com.Diakses,2
Mei 2013.
[11]Kamaluddin Marzuki,’Ulum Al-Qur’an,(Bandung : Remaja Rosda Karya
,1994),hlm.110-112.
[14]istinbath hukum
adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih)
untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang
terjadi.
[16] Sam’ani
Sya’roni,Tafkirah Ulum Al-Quran,(Pekalongan:2013),hlm.99.
No comments:
Post a Comment